Friday 18 August 2017

Forex Dalam Islam


Tidak pernah mengharamkan sesuatu perkhidmatan yang tiada unsur penindasan (gharar) meskipun ianya disediakan oleh orang bukan Islam. Leveraj forex merupakan jaminan (pertolongan) sementara yang diberikan oleh broker forex. Ianya boleh dikatakan juga kontrak sementara antara pemain forex dan broker selagi pemain tersebut masih mempunyai ekuiti dalam akaun mereka. Pemain hanya boleh memegang kontrak berdasarkan ekuiti mereka sahaja dan mengikut yang mereka persetujui dengan broker mereka. Bagi akaun Islamik, corretor forex tidak mengenakan atau memberikan apa-apa faedah atas jaminan mereka. Dengan jaminan mereka kita dapat memasuki pasaran matawang mengikut kemampuan kita. Broker forex adalah orang temh antara banco-banco antarabangsa (institusi) dan pedagang kecil (varejista). Mereka membeli (qoute) dari institusi dan menjual balik (reqoute) kepada pedagang kecil. Biasanya jualan balik adalah munasabah antara 3-10 mata sahaja. Di sini lah mereka membuat keuntungan. Proses ini adalah dibenarkan o Islam. Ianya bukan riba. (Ada yang terkeliru menyatakan jual beli adalah juga sama riba. Bersambung. Pandangan Professor Kewangan Islam Kalau kita mengkaji banyak pandangan dari pakar-pakar kewangan islam yang terlibat langsung dengan kewangan islam dan pernah membentang kertas kerja di forum kewangan islam. Majoriti bersetuju menyatakan alavancar adalah Harus (permissível). Seperti kata Professor Humayon Dar, Diretor Gerente de Dar Al Istithmar em Londres (Examina os aspectos da Shariah dos hedge funds islâmicos emergentes). A Shariah não tem problemas de alavancagem, desde que seja alcançada através da dívida islâmica. A alavancagem não é uma preocupação da Sharia, mas é uma questão econômica. Rujuk: islamicfinanceandbanking. blog. Mic-hedge. html Kalau mengambil kata-kata beliau, saya mengambil contoh alavancagem dalam akaun islamik northfinance alverage yang dikenakan tidak dikenakan sebarang interesse (interesse - Livre). Juga kalau kita overnight trocadilho ada apa-apa interesse (berlinging convencional dikenakan interest kalau Durante a noite). Saya rasa perlunya kita merujuk banyak pihak yg mahir dan terlibat secara langsung dalam kewangan islam. Bukan sekadar merujuk graduan bachelor yg baru balik dari universiti di Jordan dan kerja 2-3 tahun di institusi kewangan islam dan tukar jadi pensyarah di uiam. Kemudian buat hukum tanpa perbincangan. Como usar alavancagem para ótimos resultados com Forex Quando você executa um comércio de Forex, você está comprando uma quantidade de moeda, designada muito. A quantidade de moeda em um lote depende do tipo de conta que você possui. Em uma conta padrão, um lote geralmente é igual a US 100,000 em uma mini conta, um lote é. Mas as contas de negociação Forex são alavancadas, o que significa que você não tem que possuir esse lote caro de moeda que você apenas tem que controlá-lo e se você Faça, qualquer lucro que ganha é seu. Para obter o direito de controlar uma grande quantidade de moeda, você coloca uma quantia muito menor em uma espécie de contrato de aluguel chamado depósito de margem. Em uma conta padrão, para controlar esses US $ 100.000, você deve colocar 1.000 de seu próprio dinheiro em uma mini conta, para controlar 10.000, você precisa colocar 100. A influência influencia a quantidade de lucro que você ganha também. Em uma conta padrão, um pip de um par de moedas que tem o dólar dos EUA como base é igual a US 10 em uma mini conta, um pip é igual a 1. Isso significa que, se você prever corretamente o movimento do mercado e executar Um comércio que ganha dois mil pips (não um objetivo não realista), se você tiver uma conta padrão, seu lucro será de 2.000 se você tiver uma mini conta, é 200. Para maximizar seus lucros na negociação Forex, você não precisa negociar Uma conta padrão que nem todo comerciante de início pode dar ao luxo de. Em vez disso, se você acredita que tem uma boa previsão no mercado, você pode negociar mais de um lote. Para continuar com o exemplo acima, se o seu negócio bem sucedido ganhou doiscentos pips e você comprou cinco lotes dessa moeda, em uma mini conta você teria colocado 500 de seu próprio dinheiro, mas ganhou lucro de mil (duzentos pips vezes cinco grande quantidade). Em uma conta padrão, você teria colocado 5.000 e ganhou 10.000. O número de lotes que você pode negociar depende da margem em sua conta. Isso não é o valor que você depositou, que também inclui quaisquer negociações abertas que você tenha executado, levando em consideração os lucros ou perdas que você possa incorrer. Siri 2: hadith dhaif sebagai hujah pengharaman Maaf kerana saya senggang terlalu lama. Buat waktu ini, saya hanya berkempatan untuk mengongsi pengetahuan tentang satu lagi hadith yang terputus sanad (dhaif) yg dijadikan hujah pengharaman, iaitu: Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak di dalam milikmu. (Riwayat Abu Daud, Rujuk Konsep Leveraj Haram Metro Ahad 3 de fevereiro de 2008. Adalah terjemahan langsung satu hadith yang masyhur a tabi ma laysa indakBeberapa isu telah dibangkit berkenaan hadith ini. Salah satunya tentang percanggahan rantaian sanadnya. Al Bukhari dan Muslim tidak pernah merekodkan dalam koleksi Mikeka walaupun yang lain antaranya Ab Dawd e al Tirmidhi, ada merekodkannya. Percanggahannya adalah seperi berikut: 1. Ab Dawd, Ahmad ibn Hanbal e Ibn Hibban menyatakan ianya diriwayatkan oleh Jafar ibn Abi Wahshiyah, dari Ysuf ibn Mahak, dari Hakim ibn Hizam, Manakala yang keempatnya, ianya Abd Allah ibn Ismah, manakala koleksi yang lain menyatakan antara Ysuf e Hakim. Dalam al Mizan, al Dhahabi menyatakan nama pertengahan langsung tidak diketahui (la yuaraf). 2. Berkenaan periwayat utama Hadith ini, Hakim ibn Hizam, dikatakan 8220obscure8221 (majhul al hal). Hanya Ibn Hibban memasukkan beliau antara periwayat yang boleh dipercayai (fiable al thiqqat). Sementara al N Asa82178217i telah merakamkan cuma satu Hadith yang diriwayatkan oleah beliau, Yang lain menyatakan beliau adalah 8220obscure8221. Futuros de commodities: uma análise jurídica islâmica Mohammad Hashim KamaliFatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader da Indonésia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islamismo, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) por aí Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baiqqi de Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islã: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA COMO DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta como adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, kgterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul pena em perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Penkatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta como diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonésia Não: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Abu Al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muçulmano, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi viu bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai ... 4. Hadis Nabi riwayat Muçulmano, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi viu bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi viu bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah viu melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unidade Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (sobre o contador) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari e mercupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk acordo para a frente untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga para a frente. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPÇÃO yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unidade valuta como pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA por SurFXGzali 187 Seg 05 de outubro de 2009 11:34 HALAL HARAM FOREX Sebagai Rujukan. Konsep leveraj yang disediakan oleh corretor forex sebenarnya wujud dalam Islam. Islam tidak pernah mengharamkan sesuatu perkhidmatan yang tiada unsur penindasan (gharar) meskipun ianya disediakan oleh orang bukan Islam. Leveraj forex merupakan jaminan (pertolongan) sementara yang diberikan oleh broker forex. Ianya boleh dikatakan juga kontrak sementara antara comerciante forex dan corretor selagi comerciante tersebut masih mempunyai ekuiti dalam akaun mereka. Comerciante hanya boleh memegang kontrak berdasarkan ekuiti mereka sahaja dan mengikut yang meraka persetujui dengan corretor mereka. Bagi akaun Islamik, corretor forex tidak mengenakan atau memberikan apa-apa faedah atas jaminan mereka. Dengan jaminan mereka kita dapat memasuki pasaran matawang mengikut kemampuan kita. Broker forex adalah orang temh antara banco-banco antarabangsa (institusi) dan pedagang kecil (varejista).Mereka membeli (qoute) dari institusi dan menjual balik (reqoute) kepada pedagang kecil. Biasanya jualan balik adalah munasabah antara 3-10 mata sahaja. Di Sini lah mereka membuat keuntungan. Proses ini adalah dibenarkan o Islam. Ianya bukan riba. (Ada yang terkeliru menyatakan jual beli adalah juga sama riba). Pandangan Professor Kewangan Islam Saudarai, Kalau kita mengkaji banyak pandangan dari pakar-pakar kewangan islam yang terlibat langsung dengan kewangan islam dan pernah membentang kertas kerja di forum kewangan islam. Majoriti bersetuju menyatakan alavanca adalah harus (permissível). Seperti Kata Professor Humayon Dar, Diretor Gerente de Dar Al Istithmar em Londres (Examina os aspectos da Shariah dos hedge funds islâmicos emergentes). . A Shariah não tem problemas com a alavancagem, desde que seja alcançada através da dívida islâmica. A alavancagem não é uma preocupação da Sharia, mas é uma questão econômica. Rujuk: islamicfinanceandbanking. blog. Mic-hedge. html Kalau mengambil kata-kata beliau, saya mengambil contoh alverage dalam akaun islamik FXOpen alavancagem yang dikenakan tidak dikenakan sebarang interesse (sem juros). Juga kalau kita overnight chatice tidak ada apa-apa interesse (berking convencional dikenakan interesse kalau durante a noite). Saya rasa perlunya kita merujuk banyak pihak yg mahir dan terlibat secara langsung dalam kewangan islam. Bukan sekadar merujuk graduan bachelor yg baru balik dari universiti di Jordan dan kerja 2-3 tahun di institusi kewangan islam dan tukar jadi pensyarah di uiam. Kemudian buat hukum tanpa perbincangan. Hadith dhaif sebagai hujah pengharaman. Saya ingin berkongsi pengetahuan tentang satu lagi hadith yang terputus sanad (dhaif) yg dijadikan hujah pengharaman, iaitu: Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak di dalam milikmu. (Riwayat Abu Daud, no 3504 3283) Rujuk Konsep Leveraj Haram Metro Ahad 3 de fevereiro de 2008. Adalah terjemahan langsung satu hadith yang masyhur a tabi ma laysa indak Beberapa isu telah dibangkit berkenaan hadith ini. Salah satunya tentang percanggahan rantaian sanadnya. Al Bukhari dan Muslim Tidak pernah merekodkan dalam koleksi mereka walaupun yang lain antaranya Ab Dawd e al Tirmidhi, ada merekodkannya. Percanggahannya adalah seperi berikut: 1. Ab Dawd, Ahmad ibn Hanbal e Ibn Hibban menyatakan ianya diriwayatkan oleh Jafar ibn Abi Wahshiyah, dari Ysuf ibn Mahak, dari Hakim ibn Hizam, manakala yang keempatnya, ianya Abd Allah ibn Ismah, manakala koleksi yang lain Menyatakan antara Ysuf e Hakim. Dalam al Mizan, al Dhahabi menyatakan nama pertengahan langsung tidak diketahui (la yuaraf). 2. Berkenaan periwayat utama Hadith ini, Hakim ibn Hizam, dikatakan 8220obscure8221 (majhul al hal). Hanya Ibn Hibban memasukkan beliau antara periwayat yang boleh dipercayai (fiable al thiqqat). Sementara al Nasa82178217i telah merakamkan cuma satu Hadith yang diriwayatkan oleh beliau, Yang lain menyatakan beliau adalah 8220obscure8221. Rujukan: Futuros de mercadorias: uma análise jurídica islâmica Mohammad Hashim Kamali en. wikipedia. orgwikiMohammadHashimKamali --------------------------------- ----------------------- (Perkataan: Majhul al-Hal (dinamakan juga al-Mastur) Definição: Perawi yang diriwayatkan daripadanya oleh dua orang atau lebih tetapi tidak Ditawsiqkan. Hukum periwayatannya: tidak diterima mengikut pendapat yang sahih di sisi majoriti ulama. Adakah hadisnya itu mempunyai nama khusus Hadisnya itu tidak mempunyai nama khusus tetapi diletakkan di bawah hadis dhaif. Rujukan: darulkautsarpenghadi. BahasanKedua: --------- -------------------------------------------------- ---- (Nota: Saya tidak pernah memandang rendah pada hadith dhaif. Cuma menyatakan bahawa hadith dhaif tidak boleh dijadikan hukum dalam soal halal dan haram. Os efeitos do uso de Hadeeth fraco: islamwebver2archive. NgEampid139248 Wallahu alam. Bukankah leveraj dan margin trading saling Berkait. Ibarat kuku dengan isi. Kalau ikut pemahaman saya, margem trad Ing saham gunapakai pinjaman ada riba sahaja HARAM. Kalau tiada riba, jadi HALAL. Secara amnya margem de negociação (alavancagem) HALAL tanpa ada riba. Sebenarnya dalam akaun Islamik forex, margem tradingnya LANGSUNG tidak kena guna riba. Malah corretor forex telah dulu merealisasikan prinsip-prinsip Qard Al Hassan (belo empréstimo) berbanding banco yang berjenama perbankan Islão tidak kira da Malásia atau luar negara. Kalau ada chatice, ianya agak terbatas ruang lingkupnya seperti: Rujuk: dib. aeencommunityservicequrad. htm Insya Allah. Saya akan huraikan tentang Qard Al Hassan pada kesempatan lain. Berkenaan risiko pula, andai pasaran tidak menyebelahi kita, kita masih ada stop loss sebagai penyelamat. Andai kita tidak menggunakan stop loss trocadilho, Broker forex mengamalkan Fakta 3: sem saldos de débito Seu risco é limitado apenas aos fundos depositados. Como não há chamadas de margem na negociação forex, para sua proteção, o corretor fechará automaticamente todas as suas posições abertas se o patrimônio da sua conta cai abaixo do nível de margem requerido. Pense nisso como uma parada final e automática. Na verdade, você nunca perderá mais dinheiro do que você tem em sua conta Janganlah susah-susahkan hati pasal forex ini halal ke haram. ianya harus. Yg uzar komenkan adalah pasal alavancagem. Alavancar dlm forex menepati hukum syarak. Xde riba. Kena yakinkan diri yg ianya menepati hukum syarak. Tanpa keyakinan boleh jatuh syubhah pula. Yg penting pakai islamic conta swap conta gratuita. Kan byk broker yg tawarkan islamic account. Era - era itu adalah bisikan syaitan. Sedangkan hukum dagang forex dan penggunaan leveraj adalah harus halal. Yakinkan diri baru hati jadi tenang. Kerja jadi senang. Apa-apa chess saya tiada kuasa menjatuhkan hukum HALAL HARAM. Saya Cuma tolong menerangkan apa yang saya fahami selama ini megenai perkara tersebut. Yang ada kuasa ialah MAJLIS FATWA KEBANGSAAN. Jikalau MAJLIS FATWA KEBANGSAAN mengeluarkan FATWA da Malásia ini menerangkan yang Trading FOREX ini HARAM. Maka berhentilah. Sehingga sekarang tiada apa2 FATWA dikeluarkan por MFK mengenai FOREX. Di dalam Islam La ibrata bil musammayaat walakinna ibrata bil maaani (Pengajaran (hukum) bukan diambil dari segi istilah sesuatu perkara bahkan pengajaran (hukum) diambil dari cara perlaksanaannya). No ISLAM para verificar que as coisas que são HALAL ou HARAM não são do significado direto da terminologia, mas de como ela foi feita. Jawapan dari yang lain merujuk kepada perkara yang sama por SurFXGzali 187 seg 05 de outubro de 2009 11:43 Daripada Penasihat SyarieSharie Conselheiro KODANA Berhad. Waalaikumussalam w. b.t .. Terima kasih diucapkan kepada Saudara Seeraj atas pertanyaan yang diajukan dan sokongan kepada ruangan forum ini. Memang semalam ada persoalan tentang alavanca. Oleh kerana soalan tersebut telah menyebut nama seseorang, pihak pengurusan telah membuang soalan tersebut supaya perbincangan kita lebih telus dan tidak menyentuh mana-mana pihak. Akhlak dan kesatuan adalah penting dalam Islam dan bukan perpecahan serta pergaduhan yang dianjurkan. Terima kasih atas keperihatinan saudara itu. Diruangan yang terhad ini saya tidak bercadang untuk menterjemahkan definisi LEVERAGE mengikut istilah perniagaan yang memeningkan kepala kerana ianya berbeza mengikut penggunaan di dalam sesuatu urusniaga. LEVERAGE yang berlaku dalam perdagangan FOREX adalah como ganhar mais com menos sebagaimana berikut: - Sebagai contoh. Kita mengambil urusniaga matawang asing yang melibatkan matawang GBPUSD. Sekiranya kita membuka akaun USD1,000 dan kita ingin membelimenjual 1 lote GBPUSD, plataforma separada de pihak akan memotong USD100 a partir de $ 25 por mês. Tetapi sekiranya alavanca, plataforma hanya akan memotong USD50 untuk modal pusingan 1 lot tersebut. Ini merupakan kemudahan dan diskaun yang diberikan oleh pihak plataforma untuk meringankan modal pusingan kepada pedagang yang mempunyai akaun mini sahaja. Inilah yang dikatakan alavanca dan keistimewaan ini hanya diberikan kepada pedagang yang mempunyai akaun mini sahaja. Akaun mini ialah jumlah akaun yang kurang de USD50,000. Tetapi sekiranya akaun tersebut melebihi USD50,000 ke atas, keistimewaan ini tidak diberikan kepada pedagang (comerciante). Yang paling penting didalam perdagangan forex ini ialah setiap urusniaga yang dibenarkan serta kerugian maksimum yang akan ditanggung por pedagang tidak akan melebihi dari jumlah modal pusingan yang terdapat di dalam akaun mereka. Sebagai contoh, sekiranya anda membuka akaun yang bernilai USD1,000 anda tidak akan menanggung sebarang kerugian melebihi modal tersebut iaitu USD1,000 walau apapun alavanca yang anda perolehi dari plataforma pihak dan kerugian anda sama sekali tidak akan berganda dari keseluruhan modal yang anda laburkan. Dengan ini alavanca tidak menjadi halangan mengikut hukum syara dalam perlaksanaannya kerana ianya merupakan diskaun atau keistimewaan yang diberikan kepada pedagang. Ini hanyalah kemudahan yang diberikan oleh plataforma de pihak dengan harga yan lebih rendah kepada pedagang yang mempunyai modal yang kecil (mini akaun) iaitu akaun yang yang modalnya kurang USD50,000. Saya berharap penerangan saya yang ringkas ini dapat merungkaikan segala kekeliruan dan pemahaman yang silap tentang alavancagem yang timbul dewasa ini dan juga menjawab kepada persoalan hukum tentang alverage itu sendiri. Di dalam Islam La ibrata bil musammayaat walakinna ibrata bil maaani (Pengajaran (hukum) bukan diambil dari segi istilah sesuatu perkara bahkan pengajaran (hukum) diambil dari cara perlaksanaannya). Sekian. Wassalam. Haji Habin Faisal bin Haji Mohamed Penasihat SyarieSharie Conselheiro KODANA Berhad. Investasi FOREX trading merupakan investasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh lucro yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan kehadiran Broker forex online yaitu Marketiva yang memberikan jasa forex sinal di internet, semakin memudahkan setiap orang untuk mendulang lucro di bisnis ini bahkan tanpa harus melewati upaya belajar yang terlalu lama dan tanpa harus memahami analisa teknikalmaupun fundamental yang memusingkan kepala. Penghasilan para comerciante-comerciante forex profissional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex trading ini dikarenakan sifatnya yang abstrak dan tidak kasat mata. Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, 8221 sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), teve tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur8217an, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. 8220Causa legisatau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, 8221 ujar Dr. Syamsul Anwar. MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi 8211 karena satu dan lain hal 8212 tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan 8212 satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa8217il almu8217ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa8217I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan por Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a8217yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idéia. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islamismo dalam pengertian bagaimana hukum Islão Diterapkan Dalam Masalah Kepemilikan Atas Harta Benda, Melalui perdagangan Berjangka Komoditi Dalam Era Global Skyspaos Perdidos. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan Waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islamismo dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islamismo dapat dianalogikan dengan bay8217 al-salam8217ajl bi8217ajil. Bay8217 al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay8217 ajl bi8217ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra8217s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi8217iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: 8220Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad8221. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut. Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay8217 al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (8216aqid) yang disebut dengan istilah muçulmano atau muslim ilaih. Objek transaksi (ma8217qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra8217s al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat 8216aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi8217iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa 8216aqd al-salam adalah bay8217 al-ma8217dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (comprar). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (um yakun fi jinsins ma8217lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupia atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, lagoa, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-8217aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay8217 al-salam. Dalam Bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islamismo, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) por aí Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi e Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islã: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. (Dihimpun dari beberapa sementes) PRINSIP HIDUP IMPIAN ATAU CITA-CITA YANG BERASASKAN KEPADA KEIMANAN KEPADA ALLAH SWT DENGAN MENURUTI CARA RASULULLAH SERRA AKAN DAPAT MENEGUHKANMEMANTAPKAN HATI DARI SIFAT PUTUS ASA DAN AKAN SENTIASA MEMILIKI RASA KETAQWAAN YANG JITU DALAM EE. UU. HA MENANAMKAN KEYAKINAN KEPADA DIRI KE ARAH MENJADI SEORANG INSAN YANG BERJAYA DI DUNIA DAN DI AKHIRAT FALSAFAH SIBER 8220Manusia yang sentiasa menggunakan Internet no mundo inteiro. Experimente o acesso à Internet. Maka mereka itu adalah manusia yang teramat rugi di era digital ini8221 Profesor Madya Miswan Bin SuripForex menurut Hukum Islamismo Banyak perbedaan pendapat tentang forex itu sendiri, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itu sendiri (sedan untuk yang tidak membolehkan forex itu sendiri, silahkan search di Google). Fit4global. wordpress hanya memberi wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fundamental. Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai trading forex, trading saham, índice comercial, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah teve seu caminho para Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), teve tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Quran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legisatau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena satu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasail almuashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan por Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idéia. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islamismo dalam pengertian bagaimana hukum Islão Diterapkan Dalam Masalah Kepemilikan Atas Harta Benda, Melalui perdagangan Berjangka Komoditi Dalam Era Global Skyspaos Perdidos. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan Waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islamismo dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islamismo dapat dianalogikan dengan bay al-salamajl biajil. Bay al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah baía ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) Yang disebut dengan istilah muçulmano atau muçulmano ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ras al-mal al-salam dan al-muçulmano fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah baía al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (comprar). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (um yakun fi jinsinsaluminum), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupia atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, lagoa, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Os Contratos Básicos de Intercâmbio Existe um consenso geral entre os juristas islâmicos sobre a visão de que as moedas de diferentes países podem ser trocadas em uma base local a uma taxa diferente da unidade, uma vez que as moedas de diferentes países são entidades distintas com valores diferentes ou valor intrínseco E poder de compra. Parece também haver um acordo geral entre a maioria dos acadêmicos na visão de que a troca de moeda em regime de adiantamento não é permitida, ou seja, quando os direitos e obrigações de ambas as partes se relacionam com uma data futura. No entanto, há uma considerável diferença de opinião entre os juristas quando os direitos de qualquer uma das partes, que é igual à obrigação da contraparte, são diferidos para uma data futura. Para elaborar, consideremos o exemplo de dois indivíduos A e B que pertencem a dois países diferentes, Índia e EUA, respectivamente. A pretende vender rúpias indianas e comprar dólares dos EUA. O inverso é verdadeiro para B. A taxa de câmbio rúpia-dólar acordada é 1:20 e a transação envolve compra e venda de 50. A primeira situação é que A faz um pagamento no local de Rs1000 a B e aceita pagamento de 50 de B . A transação é liquidada a partir de ambos os lados. Tais transações são válidas e islamicamente permitidas. Não há duas opiniões sobre o mesmo. A segunda possibilidade é que a liquidação da transação de ambos os fins seja diferida para uma data futura, digamos, após seis meses a partir de agora. Isso implica que tanto A como B fariam e aceitavam o pagamento de Rs1000 ou 50, conforme o caso, após seis meses. A visão predominante é que tal contrato não é islamicamente permitido. Uma visão minoritária considera isso permitido. O terceiro cenário é que a transação é parcialmente liquidada de uma única extremidade. Por exemplo, A faz um pagamento de Rs1000 agora para B em vez de uma promessa de B de pagar 50 para ele depois de seis meses. Alternativamente, A aceita 50 agora de B e promete pagar Rs1000 para ele depois de seis meses. Existem visões diametralmente opostas sobre a permissibilidade de tais contratos que equivalem a bai-salam em moedas. O objetivo deste trabalho é apresentar uma análise abrangente de vários argumentos em apoio e contra a permissibilidade desses contratos básicos envolvendo moedas. A primeira forma de contratação envolvendo troca de contravalores no local é além de qualquer tipo de controvérsia. A admissibilidade ou não do segundo tipo de contrato em que a entrega de um dos contravalores é adiada para uma data futura, geralmente é discutida no âmbito da proibição riba. Consequentemente, discutimos este contrato detalhadamente na seção 2 sobre a questão da proibição de riba. A admissibilidade da terceira forma de contrato em que a entrega de ambos os contravalores é diferida, geralmente é discutida no âmbito da redução de risco e incerteza ou gharar envolvidos em tais contratos. Este, portanto, é o tema central da seção 3, que aborda a questão do gharar. A seção 4 tenta uma visão holística da Sharia relaciona questões como também o significado econômico das formas básicas de contratação no mercado de câmbio. 2. A questão da proibição de Riba A divergência de pontos de vista1 sobre a permissibilidade ou não de contratos de câmbio em moedas pode ser atribuída principalmente à questão da proibição de riba. A necessidade de eliminar a riba em todas as formas de contratos de câmbio é de extrema importância. Riba em seu contexto da Sharia é geralmente definida2 como um ganho ilegal derivado da desigualdade quantitativa dos contravalores em qualquer transação que pretenda efetuar a troca de duas ou mais espécies (anwa), que pertencem ao mesmo gênero (jins) e são regidas por A mesma causa eficiente (illa). Riba geralmente é classificada em riba al-fadl (excesso) e riba al-nasia (adiamento), que denota uma vantagem ilegal em excesso ou aferição, respectivamente. A proibição do primeiro é alcançada por uma estipulação de que a taxa de troca entre os objetos é a unidade e nenhum ganho é permitido para qualquer das partes. O último tipo de riba é proibido por não permitir a liquidação diferida e garantir que a transação seja resolvida no local por ambas as partes. Outra forma de riba é chamada riba al-jahiliyya ou riba pré-islâmica que se situa quando o credor pede ao mutuário na data de vencimento se o último liquidar a dívida ou aumentar a mesma. O aumento é acompanhado da cobrança de juros sobre o montante inicialmente emprestado. A proibição de riba na troca de moedas de países diferentes exige um processo de analogia (qiyas). E em qualquer exercício envolvendo analogia (qiyas), causa eficiente (illa) desempenha um papel extremamente importante. É uma causa eficiente comum (illa), que conecta o objeto da analogia com o assunto, no exercício do raciocínio analógico. A causa eficiente apropriada (illa) no caso de contratos de câmbio foi definida de forma variada pelas principais escolas da Fiqh. Essa diferença se reflete no raciocínio análogo para moedas de papel pertencentes a países diferentes. Uma questão de significância considerável no processo de raciocínio análogo refere-se à comparação entre moedas de papel com ouro e prata. Nos primeiros dias do Islã, ouro e prata desempenharam todas as funções do dinheiro (thaman). As moedas eram feitas de ouro e prata com um valor intrínseco conhecido (quantum de ouro ou prata contido nelas). Essas moedas são descritas como thaman haqiqi, ou naqdain na literatura Fiqh. Estes eram universalmente aceitáveis ​​como principal meio de troca, representando uma grande parte das transações. Muitas outras commodities, como, vários metais inferiores também serviram de meio de troca, mas com aceitabilidade limitada. Estes são descritos como falsos na literatura Fiqh. Estes também são conhecidos como thaman istalahi devido ao fato de que sua aceitabilidade não decorre do seu valor intrínseco, mas devido ao status concedido pela sociedade durante um determinado período de tempo. As duas formas acima mencionadas de moedas foram tratadas de forma muito diferente pelos juristas islâmicos do início do ponto de vista da permissibilidade dos contratos que os envolvem. A questão que precisa ser resolvida é se as atuais moedas de papel de idade se enquadram na categoria anterior ou a última. Uma visão é que estes devem ser tratados a par com thaman haqiqi ou ouro e prata, uma vez que servem como principal meio de troca e unidade de conta como o último. Assim, por um raciocínio análogo, todas as normas e injunções relacionadas à Sharia aplicáveis ​​a thaman haqiqi também devem ser aplicáveis ​​ao papel moeda. O intercâmbio de thaman haqiqi é conhecido como bai-sarf e, portanto, as transações em moedas de papel devem ser regidas pelas regras da Sharia relevantes para bai-sarf. A visão contrária afirma que as moedas de papel devem ser tratadas de forma semelhante a fals ou thaman istalahi devido ao fato de seu valor facial ser diferente do seu valor intrínseco. A sua aceitabilidade decorre do seu estatuto jurídico dentro do país doméstico ou da importância econômica global (como no caso de dólares americanos, por exemplo). 2.1. Uma Síntese de Vistas Alternativas 2.1.1. Razão analógica (Qiyas) para a proibição de Riba A proibição de riba baseia-se na tradição que o santo profeta (a paz esteja com ele) disse: Venda ouro para ouro, prata para prata, trigo para trigo, cevada para cevada, data para data, Sal para o sal, nas mesmas quantidades no local e quando as mercadorias são diferentes, vendam como você se adequa, mas no local. Assim, a proibição de riba se aplica principalmente aos dois metais preciosos (ouro e prata) e quatro outras commodities (trigo, cevada, datas e sal). Também se aplica, por analogia (qiyas) a todas as espécies que são governadas pela mesma causa eficiente (illa) ou que pertencem a qualquer gênero dos seis objetos citados na tradição. No entanto, não existe um acordo geral entre as várias escolas do Fiqh e até mesmo os estudiosos pertencentes à mesma escola sobre a definição e identificação de causa eficiente (illa) de riba. Para os Hanafis, causa eficiente (illa) de riba tem duas dimensões: os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) que possuem peso (wazan) ou mensurabilidade (kiliyya). Se em uma troca dada, ambos os elementos da causa eficiente (illa) estão presentes, isto é, os contravalores trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) e são todos pesáveis ​​ou todos mensuráveis, então não é permitido nenhum ganho (a taxa de câmbio deve Ser igual à unidade) e a troca deve ser no local. No caso de ouro e prata, os dois elementos de causa eficiente (illa) são: unidade de gênero (jins) e capacidade de pesagem. Esta é também a visão Hanbali de acordo com uma versão3. (Uma versão diferente é semelhante à visão de Shafii e Maliki, conforme discutido abaixo.) Assim, quando o ouro é trocado por ouro, ou a prata é trocada por prata, só são permitidas transações instantâneas sem qualquer ganho. Também é possível que em uma troca dada, um dos dois elementos de causa eficiente (illa) esteja presente e o outro esteja ausente. Por exemplo, se os artigos trocados são todos pesáveis ​​ou mensuráveis, mas pertencem a gênero diferente (jins) ou, se os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins), mas nem é pesável nem mensurável, então troca com ganho (a uma taxa diferente de Unidade) é permissível, mas a troca deve ser no local. Assim, quando o ouro é trocado por prata, a taxa pode ser diferente da unidade, mas não é permitida a liquidação diferida. Se nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba estiver presente em uma troca dada, nenhuma das injunções para a proibição riba se aplica. O intercâmbio pode ocorrer com ou sem ganho e tanto em um ponto quanto em diferido. Considerando o caso de troca envolvendo moedas de papel pertencentes a países diferentes, a proibição riba exigiria uma busca por causa eficiente (illa). As moedas pertencentes a diferentes países são entidades claramente distintas, que são legais em limites geográficos específicos com diferentes valores intrínsecos ou poder de compra. Por conseguinte, uma grande maioria de estudiosos talvez afirmem, com razão, que não existe uma unidade de gênero (jins). Além disso, estes não são pesáveis ​​nem mensuráveis. Isso leva a uma conclusão direta de que nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba existe nessa troca. Assim, a troca pode ser realizada sem qualquer injunção quanto à taxa de câmbio e à forma de liquidação. A lógica subjacente a esta posição não é difícil de compreender. O valor intrínseco das moedas de papel pertencentes a diferentes países difere, pois estes têm poder de compra diferente. Além disso, o valor intrínseco ou o valor das moedas de papel não pode ser identificado ou avaliado ao contrário do ouro e da prata que podem ser pesados. Portanto, nem a presença de riba al-fadl (por excesso), nem riba al-nasia (por adiamento) pode ser estabelecida. A escola Shafii de Fiqh considera a causa eficiente (illa) no caso de ouro e prata serem sua propriedade de ser moeda (thamaniyya) ou meio de troca, unidade de conta e loja de valor. Esta é também a visão de Maliki. De acordo com uma versão desta visão, mesmo que o papel ou o couro sejam feitos como meio de troca e recebam o status da moeda, então todas as regras relativas ao naqdain, ou o ouro e a prata são aplicáveis ​​a eles. Assim, de acordo com esta versão, o intercâmbio envolvendo moedas de diferentes países a uma taxa diferente da unidade é permitido, mas deve ser resolvido no local. Outra versão das duas escolas de pensamento acima é que a causa eficiente citada acima (illa) de ser moeda (thamaniyya) é específica para ouro e prata e não pode ser generalizada. Ou seja, qualquer outro objeto, se usado como meio de troca, não pode ser incluído em sua categoria. Assim, de acordo com esta versão, as injunções Sharia para a proibição riba não são aplicáveis ​​às moedas de papel. As moedas pertencentes a diferentes países podem ser trocadas com ou sem ganho, e ambas, de forma diferida ou diferida. Os defensores da versão anterior citam o caso da troca de moedas de papel pertencentes ao mesmo país em defesa da sua versão. A opinião consensual de juristas neste caso é que essa troca deve ser sem qualquer ganho ou a uma taxa igual à unidade e deve ser resolvida no local. Qual é o raciocínio subjacente à decisão acima. Se considerarmos a Hanafi e a primeira versão da posição Hanbali, então, neste caso, apenas uma dimensão da causa eficiente (illa) está presente, ou seja, elas pertencem ao mesmo gênero (jins ). Mas as moedas de papel não são pesáveis ​​nem mensuráveis. Assim, a lei Hanafi aparentemente permitiria o intercâmbio de diferentes quantidades da mesma moeda no local. Do mesmo modo, se a causa eficiente de ser moeda (thamaniyya) é específica apenas para ouro e prata, a lei Shafii e Maliki também permitiria o mesmo. Escusado será dizer que isso equivale a permitir empréstimos e empréstimos com base em riba. Isso mostra que, é a primeira versão do pensamento de Shafii e Maliki, que está subjacente à decisão consensual de proibição de lucro e liquidação diferida em caso de troca de moedas pertencentes ao mesmo país. De acordo com os proponentes, estender essa lógica ao intercâmbio de moedas de diferentes países implicaria que a permuta com ganho ou a uma taxa diferente da unidade é permitida (uma vez que não há unidade de jins), mas a liquidação deve ser no local. 2.1.2 A comparação entre câmbio e Bai-Sarf Bai-sarf é definida na literatura Fiqh como uma troca envolvendo o thaman haqiqi, definido como ouro e prata, que serviu de principal meio de troca para quase todas as principais transações. Os defensores da opinião de que qualquer troca de moedas de diferentes países é o mesmo que o bai-sarf argumentam que, no atual período de idade, as moedas substituíram efetivamente e completamente o ouro e a prata como meio de troca. Por analogia, o intercâmbio envolvendo tais moedas deve ser regido pelas mesmas regras e injunções da Sharia como bai-sarf. Também se argumenta que, se for permitida a liquidação diferida de ambas as partes no contrato, isso abriria as possibilidades de riba-al nasia. Os oponentes da categorização do câmbio com o bai-sarf no entanto destacam que o intercâmbio de todas as formas de moeda (thaman) não pode ser denominado como bai-sarf. De acordo com esta visão, o bai-sarf implica a troca de moedas feitas de ouro e prata (thaman haqiqi ou naqdain) sozinhas e não de dinheiro declarado como tal pelas autoridades estaduais (thaman istalahi). As moedas atuais da época são exemplos desse último tipo. Esses estudiosos encontram apoio nesses escritos que afirmam que, se as commodities de troca não são ouro ou prata, (mesmo que uma delas seja ouro ou prata), a troca não pode ser denominada como bai-sarf. Nem as estipulações relativas ao bai-sarf seriam aplicáveis ​​a tais trocas. De acordo com Imam Sarakhsi4, quando um indivíduo compra falsas ou moedas feitas de metais inferiores, como, por exemplo, cobre (thaman istalahi) para dirhams (thaman haqiqi) e faz um pagamento por conta desse último, mas o vendedor não possui falsos nesse momento , Então essa permuta é permitida. Tomar posse de mercadorias trocadas por ambas as partes não é uma condição prévia (enquanto no caso de bai-sarf, é.) Existem algumas referências semelhantes que indicam que os juristas não classificam uma troca de fals (thaman istalahi) por outra falsa ( Thaman istalahi) ou ouro ou prata (thaman haqiqi), como bai-sarf. Assim, as trocas de moedas de dois países diferentes que só podem ser qualificadas como thaman istalahi não podem ser categorizadas como bai-sarf. Nem a restrição quanto à liquidação no local pode ser impostas a tais transações. Deve notar-se aqui que a definição de bai-sarf é fornecida na literatura do Fiqh e não há menção ao mesmo nas tradições sagradas. As tradições mencionam sobre riba, e a venda e compra de ouro e prata (naqdain), que pode ser uma fonte importante de riba, é descrita como bai-sarf pelos juristas islâmicos. Também deve notar-se que, na literatura Fiqh, o bai-sarf implica a troca de ouro ou prata apenas se estes estão sendo usados ​​como meio de troca ou não. Troca envolvendo dinares e ornamentos de ouro, ambos de qualidade como bai-sarf. Vários juristas procuraram esclarecer este ponto e definiram o sarf como aquela troca em que ambas as commodities trocadas são da natureza de Thaman, não necessariamente do próprio Thaman. Portanto, mesmo quando uma das mercadorias é processada de ouro (digamos, ornamentos), essa troca é chamada de bai-sarf. Os defensores da visão de que a troca de moeda deve ser tratada de forma semelhante ao bai-sarf também derivam o apoio de escritos de juristas islâmicos eminentes. De acordo com Imam Ibn Taimiya, qualquer coisa que desempenhe as funções de meio de troca, unidade de conta e armazenamento de valor é chamado thaman, (não necessariamente limitado a prata de amplificador de ouro). Referências semelhantes estão disponíveis nos escritos de Imam Ghazzali5 No que diz respeito às opiniões do Imam Sarakhshi em relação ao intercâmbio envolvendo falsos, de acordo com eles, alguns pontos adicionais devem ser observados. Nos primeiros dias do Islã, os dinares e os dirhams feitos de ouro e prata eram usados ​​principalmente como meio de troca em todas as principais transações. Somente os menores foram resolvidos com falsos. Em outras palavras, fals não possuía as características de dinheiro ou thamaniyya na íntegra e dificilmente era usado como loja de valor ou unidade de conta e era mais na natureza da mercadoria. Portanto, não houve restrição na compra do mesmo por ouro e prata em regime diferido. As moedas atuais têm todas as características de thaman e são feitas apenas como Thaman. O intercâmbio envolvendo moedas de diferentes países é igual ao bai-sarf com diferença de jins e, portanto, a liquidação diferida levaria a riba al-nasia. O Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustra esta possibilidade com um exemplo6. Ele escreve Em um momento dado, quando a taxa de câmbio do mercado entre dólar e Rúpia é de 1:20, se um indivíduo comprar 50 na taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em Rúpias diferida para uma data futura), então É altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter o Rs 1000 agora, trocando os 50 comprados no crédito à taxa spot). Assim, o sarf pode ser convertido em empréstimo de empréstimos com base em juros. 2.1.3 Definir Thamaniyya é a chave. Aparece a partir da síntese acima de pontos de vista alternativos que a questão-chave parece ser uma definição correta de thamaniyya. Por exemplo, uma questão fundamental que leva a posições divergentes sobre a permissibilidade relaciona se thamaniyya é específico para ouro e prata, ou pode ser associado a qualquer coisa que desempenhe as funções de dinheiro. Levamos algumas questões abaixo que podem ser levadas em consideração em qualquer exercício de reconsideração de posições alternativas. Deve ser apreciado que thamaniyya pode não ser absoluto e pode variar em graus. É verdade que as moedas de papel substituíram completamente ouro e prata como meio de troca, unidade de conta e estoque de valor. Nesse sentido, as moedas de papel podem ser consideradas possuidoras de thamaniyya. No entanto, isso é verdade apenas para moedas domésticas e pode não ser verdade para moedas estrangeiras. Em outras palavras, as rupias indianas possuem thamaniyya dentro dos limites geográficos da Índia e não têm qualquer aceitabilidade nos EUA. Não se pode dizer que estes possamos thamaniyya nos EUA, a menos que um cidadão dos EUA possa usar rúpias indianas como meio de troca, unidade de conta ou armazenamento de valor. Na maioria dos casos, essa possibilidade é remota. Esta possibilidade também é função do mecanismo da taxa de câmbio em vigor, como a conversibilidade das rupias indianas em dólares norte-americanos, e se um sistema de taxa de câmbio fixo ou flutuante está em vigor. Por exemplo, assumindo a livre convertibilidade das rupias indianas em dólares norte-americanos e vice-versa, e um sistema de taxa de câmbio fixo em que a taxa de câmbio da rupia-dólar não deverá aumentar ou diminuir no futuro previsível, a taxa de rupia nos EUA é consideravelmente melhorada . O exemplo citado pelo Dr. Nejatullah Siddiqui também parece bastante robusto nas circunstâncias. A permissão para trocar rúpias por dólares em regime de diferimento (de um lado, é claro) a uma taxa diferente da taxa local (taxa oficial que provavelmente permanecerá fixada até a data da liquidação) seria um caso claro baseado em juros Empréstimos e empréstimos. No entanto, se a assunção da taxa de câmbio fixa for relaxada e o atual sistema de taxas de câmbio flutuantes e voláteis for assumido, então pode-se mostrar que o caso de riba al-nasia se decompõe. Reescrevemos seu exemplo: em um determinado momento no momento em que a taxa de câmbio do mercado entre o dólar e a rupia é de 1:20, se um indivíduo comprar 50 à razão de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rupias diferido para uma data futura ), Então é altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os 50 comprados em crédito à taxa spot). Isso seria assim, somente se o risco cambial for inexistente (a taxa de câmbio permanece em 1:20) ou é suportada pelo vendedor De dólares (o comprador paga em rupias e não em dólares). If the former is true, then the seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 (at an exchange rate of 1:20). However, if the latter is true, then the return to the seller (or the lender) is not predetermined. It need not even be positive. For example, if the rupee-dollar exchange rate increases to 1:25, then the seller of dollar would receive only 44 (Rs 1100 converted into dollars) for his investment of 50. Here two points are worth noting. First, when one assumes a fixed exchange rate regime, the distinction between currencies of different countries gets diluted. The situation becomes similar to exchanging pounds with sterlings (currencies belonging to the same country) at a fixed rate. Second, when one assumes a volatile exchange rate system, then just as one can visualize lending through the foreign currency market (mechanism suggested in the above example), one can also visualize lending through any other organized market (such as, for commodities or stocks.) If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as: In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price) In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7. Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, pric e, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futuros e antecipados em moedas são exemplos desses contratos nos termos dos quais duas partes se tornam obrigadas a trocar moedas de dois países diferentes a uma taxa conhecida no final de um período de tempo conhecido. Por exemplo, indivíduos A e B comprometem-se a trocar dólares americanos e Rúpias indianas à taxa de 1: 22 após um mês. Se o montante envolvido for 50 e A seja o comprador de dólares, então, as obrigações de A e B são fazer pagamentos de Rs1100 e 50, respectivamente, no final de um mês. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Tradicionalmente, uma esmagadora maioria dos estudiosos da Sharia desaprovaram esses contratos por vários motivos. A proibição aplica-se a todos os contratos em que as obrigações de ambas as partes sejam diferidas para uma data futura, incluindo contratos envolvendo troca de moedas. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi e Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islã: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA COMO DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta como adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, kgterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul pena em perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:

No comments:

Post a Comment